SHIBGHAH (GONTOR)


Dalam beberapa tulisan, penulis pernah menceritakan peristiwa-peristiwa berikut. Sebelum diangkat sebagai perwakilan resmi (Konjen) di negara sahabat, seorang alumnus Gontor ditanya asal lembaga pendidikannya oleh Presiden. Hal itu karena Presiden terkesan dengan kinerja, wawasan, serta sikapnya yang khas, universal, dan dapat diterima oleh siapa saja, di mana saja. Terdapat shibgah Gontor dalam dirinya. Presiden melihat hal itu.

Dua orang delegasi perdamaian Aceh, baik dari pihak pemerintah maupun pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah alumni Gontor. Dalam perundingan internasional, keduanya mampu mencairkan suasana, dan menyelesaikan masalah konflik Aceh dengan baik, hingga Aceh bersedia kembali ke pangkuan NKRI. Itu karena satu sama lain, sama-sama mampu melihat shibghah Gontor dengan baik.

Almarhum Maftuh Basyuni, Menteri Agama RI, yang juga alumus Gontor, terkesan dengan cara kerja salah seorang petugas haji di Madinah saat beliau melakukan inspeksi sebagai Amirul Haj. Perkiraannya tepat. Setelah dipanggil, dan ditanya, benar, anak tersebut ternyata alumnus Gontor. Mengapa? Karena shibghah yang dimilikinya terbaca oleh Pak Maftuh Basyuni.

Dua orang guru Madrasah Aliyah Negerti (MAN) yang sebelumnya belum saling bertemu atau saling mengenal, tiba-tiba, salah satu memberanikan diri bertanya kepada guru yang lebih senior, apakah dia alumnus Gontor (tentu dengan bahasa khas Gontor). Lantas dibenarkan oleh yang ditanya dengan senyum berbinar bangga, haru. Akhirnya, sepanjang perjalanan —untuk meninjau lembaga pendidikan— ke Singapura dan Australia keduanya berbincang akrab. Itu karena keduanya memiliki shibghah yang sama, dan masih banyak lagi cerita serupa.

Shibghah adalah istilah bahasa Arab. Secara leksikal, berarti ‘celupan’, ya, celupan. Jika kita membeli kaos putih, lantas ingin menjadikannya berwarna lain, maka cukup dicelupkan di sebuah ember berisi air dengan zat pewarna yang kita inginkan. Seperti itulah yang dilakukan Gontor dalam mendidik para santrinya. Celupan itu dilakukan oleh Gontor dalam waktu yang sangat panjang (24 jam sehari, selama 4–6 tahun), melalui berbagai aktivitas “life skill” (‘keterampilan hidup’), serta dilakukan oleh kyai dan para guru yang ikhlas, tanpa dibayar.

Menurut Prof. Dr Eng. M. Zuhal, Menristek era Presiden BJ Habbibie, apa yang dilakukan Gontor bukan sekadar proses pendidikan, melainkan pembudayaan manusia. Pendidikan melalui sekolah sistem klasikal sangat sedikit memberi bekas kepada siswa. Siswa tidak bisa melihat dan mencontoh bagaimana kehidupan guru di luar kelas, di rumah, ketika makan, berpakaian, dsb. Nah, di Gontor, para santri dapat dengan jelas melihat dan meniru bagaimana kyai dan para guru hidup secara normal dalam setiap saat. Dengan demikian, sangatlah mudah bagi para santri melihat dan mencontohnya. Sebaliknya, kyai dan guru dituntut berbicara, dan berperilaku jujur, konsekuen, mendidikkan apa yang dilakukan, bukan sekadar mampu berpidato/berbicara, menyitir ayat-ayat suci, dsb.

Para santri tidak hanya mengalami sekali celupan, melainkan berkali-kali, sehingga celupan-celupan itu sangat membekas, tidak akan hilang atau luntur. Pendidikan karakter yang khas dan total, pemberian motivasi secara kontinu dan dalam berbagai kesempatan, materi pelajaran yang beragam (disampaikan secara masif dan gradual), pendidikan kader pemimpin melalui pendidikan berorganisasi, hingga pendidikan guru sekaligus praktiknya adalah sebagian shibghah-shibghah Gontor yang membuat alumninya mudah dikenal, mudah dipahami dan memahami orang lain. Benar-benar sebuah pendidikan tentang universalitas. Hanya orang yang dididik dengan cara demikian yang akan menjadi manusia universal, manusia moderat, diterima berbagai kalangan; tidak ke mana-mana namun ada di mana-mana.

Betapa tidak? Dalam pendidikan berorganisasi, misalnya, santri diberi tekanan pesan “Mau dipimpin, siap memimpin.” Umumnya orang zaman sekarang, maunya memimpin, meskipun belum tentu mampu. Dia tidak memiliki visi, misi, apalagi ide-ide yang inovatif. Yang ada dibenaknya, hanya kalimat, “Pokoknya kita yang harus memimpin; Pokoknya harus kita kuasai. Mereka (baca: orang lain) jangan diberi kesempatan!” Padahal, kemampuannya, nol besar. Hanya gaji dan kekuasaan yang dipikirkan. Bagaimana maslahatnya bagi ummat, perkara belakangan.

Hal di atas benar-benar terjadi di salah satu perguruan tinggi. Anak-anak Gontor, yang tadinya dipakai karena keterampilan (life skill)-nya, universalitas pemikirannya, serta totalitas pengabdiannya, pun disingkirkan. Lucunya, ketika semua sudah berpindah tangan, mereka tidak mampu berkerja, tidak tahu apa yang harus dikerjakan, dan bagaimana mengerjakannya. Akhirnya, mereka “balik kucing”, memanggil lagi anak-anak Gontor, sekadar diminta membuatkan proposal bahasa Arab dan bahasa Inggris, sebagai bekal menjalin kerja sama luar negeri. Tidak hanya sampai di situ. Kemudian, anak Gontor itu juga diminta mengantarkan kepada lembaga atau tokoh yang akan diajak kerja sama. Pasalnya, sang penguasa tidak mampu bertkomunikasdi dengan bahasa Arab dan Inggris, apalagi betrmujamalah (bertika bicara sesuai lawan bicara). Ini, dalam bahasa Jawa, disebut “mundur isin”. Sebenarnya, dia tidak mampu memimpin, tetapi malu mengakui, dan enggan mengundurkan diri.

*

Karena shibghah yang dimiliki, bagi alumni Gontor, perkara di atas sangat-sangatlah mudah, kalau tidak boleh dikatakan sepele arau remeh, sebab tidak perlu mengeluarkan terlalu banyak energi. Selama dididik di Gontor, itu adalah “makanan” sehari-hari, termasuk shibghah Gontor.

Shibghah juga dapat disebut nyali, nyali Gontor. Betapa tidak. Ketika ditanya tentang rencana kelanjutan studinya kelak, dengan enteng, seorang santri Gontor akan menjawab Madinah, Mesir, Sudan, Pakistan, Asustralia, Amerika, Malaysia, Rusia, dsb. atau, ada juga yang berencana hendak menghafal al-Qur’an, ngaji di Pondok Salaf, atau pulang, “sekadar” menjadi petani dan guru ngaji di desanya. Semuanya tidak ada yang sia-sia, rendah, atau sepele bagi Gontor. Yang penting alumni terus berpikir dan berbuat, tidak menganggur; bagaimana menjadi khayru al-nasi anfa’uhum li al-nasi (‘sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain’). Inilah cara berpikir sederhana, universal. Keberhasilan hidup bukan diukur dari nama besar, kedudukan tinggi, atau kekayaan yang melimpah, melainkan cukup menjadi manusia yang bermanfaat.

Setidaknya, untuk hal di atas, Pendiri Gontor telah berpesan, “Apapun aktivitasmu di masyarakat, jangan tinggalkan mengajar!” Selain memang itu missi Gontor sebagai sekolah guru, mengajar adalah profesi yang sederhana, mudah dipahami dan dilakukan, serta cara memperoleh wibawa yang cukup mudah. Tidak ada guru yang tidak dihormati, jika mampu menjaga wibawa. Juga, ada lagi pesan Pendiri Pondok yang sangat memberi dorongan. “Orang besar bagi Gontor, adalah orang yang mau mengajar ngaji di surau kecil di desa terpencil, lagi tak nampak corak masyarakatnya. Orang seperti itu, jasanya, tidak kalah dengan pembesar negara” Sebuah pesan sederhana namun sangat agung; dalam maknanya.

Begitulah sekelumit “cerita” tentang shibghah Gontor.

Kuotasi:
 Prof. Dr Eng. M. Zuhal: “Apa yang dilakukan Gontor bukan sekadar pendidikan, melainkan proses pembudayaan manusia.”

 Santri Gontor harus mau dipimpin, siap memimpin.

 K.H. Imam Zarkasyi: “Apapun aktivitasmu di masyarakat, jangan tinggalkan mengajar!”

 K.H. Imam Zarkasyi: “Orang besar bagi Gontor, adalah orang yang mau mengajar ngaji di surau kecil di desa terpencil, lagi tak nampak corak masyarakatnya. Orang seperti itu, jasanya, tidak kalah dengan pembesar negara”


Writed by Al- Ustadz Drs. Nasrullah Zainul Muttaqien (salah satu putra K.H. Imam Zarkasyi)

Komentar

Postingan Populer