Program Kaderisasi Ulama Universitas Darussalam Gontor
PKU Gontor: Masjid, Universitas dan
Pesantren
Oleh: Wisnu Al Amin
Tulisan ini adalah refleksi atas
pergerakan Pengkaderan Ulama di Gontor. “Ulama yang intelek, bukan intelek yang
tahu agama sekadarnya”, kurang lebih demikianlah salah satu semboyan yang
tertanam dalam perjuangan Gontor. Hal ini ditambah oleh maraknya fenomena
kalangan cendekia yang berbicara persoalan agama namun berpaling dari
kebenarannya. Selain itu, masih ada pihak ulama yang kurang berani
berkonfrontasi terhadap pemikiran yang menggerogoti umat. Lantaran inilah
Gontor menjadi pionir untuk rekayasa pengkaderan ulama yang berintelektual yang
kemudian disebut Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor. Dengan demikian,
pencetakan “ulama yang intelek” menjadi sebuah realisasi yang nantinya dapat
dirasakan dalam dinamika umat.
PKU Gontor merupakan proyeksi berkala
yang dibutuhkan umat. Di dalam aktivitasnya terdapat penyiapan kelompok
masyarakat yang memiliki budaya ilmu dengan spirit ke-ulama-an sekaligus
cendekiawan. Ini menjadi penting mengingat dalam demografi Indonesia bahwa
penduduk yang mengenyam Pendidikan Tinggi tidak sampai menyentuh angka 30% dari
total 260-an juta jiwa. Padahal untuk mengembangkan ke-intelek-an secara
sistematis dapat dirasakan di Perguruan Tinggi. Karena itulah, syarat agar
menjadi bagian PKU Gontor telah menyelesaikan Sarjana minimal Strata 1. Sebab,
mereka akan diarahkan untuk berhadapan dengan tantangan pemikiran serta membawa
perubahan melalui trickle down effect (istilah lainnya efek tetesan minyak).
Artinya, proyeksi strategis budaya ilmu dilakukan dengan penyebaran kader-kader
PKU Gontor di tengah masyarakat.
Bahkan, Kaderisasi Ulama di Gontor
dapat mensinergikan fondasi peradaban umat yang mana fondasi-fondasi tersebut
saling terbatasi di era modern. Dasar peradaban itu adalah masjid, universitas
dan pesantren (dalam konteks Indonesia). Fenomena yang terjadi acapkali masjid
hanya sibuk dengan persoalan ibadah wajib. Sedangkan universitas tidak
mengindahkan aspek-aspek keagamaan. Adapun pesantren terkadang tidak sensitif
dengan persoalan keumatan kontemporer. Oleh sebab itu, Kader Ulama Gontori
dapat merekayasa gagasan-gagasan yang terpatri di dalam fondasi-fondasi
tersebut.
Masjid menanamkan dimensi
eskatologi. Tempat yang menjadi sumber spiritualitas adalah masjid. Ia menjadi
wahana untuk mensterilkan segala jenis “racun” yang terdapat di dalam diri
manusia. Karena masjid adalah simbol kesucian dan menyucikan setiap orang yang
khusyuk di dalamnya. Maka dari itu, tempat ini adalah untuk memurnikan kembali
pikiran maupun perasaan manusia yang tidak sesuai dengan tabiat kebenaran. Oleh
karena itu, secara esensial menyadarkan siapa diri manusia dan ke mana tujuan
hakikinya.
Kemudian, universitas sebagai tempat
pengembangan pikiran. Tidak heran apabila kampus melahirkan orang-orang yang
memiliki kecanggihan berpikir terutama dalam analisa. Instrumen yang
digunakannya seperti panca indera dan akal. Namun, sayangnya hal itu tidak
bergerak linier dengan ketinggian perasaan yang berpusat di dalam hati.
Sehingga seringkali para intelek ataupun cendekia tidak menawarkan kebenaran,
melainkan menyulut kebingungan publik. Lantaran itu, universitas yang tidak
terkendalikan oleh gagasan masjid dapat menjadi “boomerang kemanusiaan”.
Maka itu, pesantren memiliki peran
penting di tengah masyarakat yang memimpikan peradaban. Ia adalah tempat yang
tepat untuk mendidik hati secara terstruktur. Karena di dalamnya secara
langsung berkolaborasi dengan gagasan masjid. Kendati demikian, bukan berarti
pesantren tidak mengembangkan pemikiran, hanya saja tidak setajam apa yang
dilakukan di universitas. Di dalam pondok pesantren tersebar kunci-kunci
falsafah kehidupan. Siapa yang dapat mengambil kunci tersebut ia akan menjadi
manusia yang berkarakter. Karakter itulah yang menjadikan insan tetap tegak
atas tempaan-tempaan fatamorgana kehidupan. Oleh karenanya, ketika ia masuk
wahana universitas justru akan semakin menjulang tinggi, namun tetap kokoh pada
akarnya.
Semua fondasi itu apabila dibawa ke
dalam pergerakan PKU Gontor maka akan terbentuk gagasan-gagasan yang saling
berkolaborasi. Pasalnya, para kader PKU Gontor mendapatkan momentum
berinteraksi secara langsung di tiga dimensi tersebut, yaitu saat Workshop PKU
Gontor. Seminar adalah waktu sangat strategis untuk formulasi gagasan yang
kemudian distimulasi kepada umat. Misalnya, jika seminar dilakukan di masjid,
maka sepandai mungkin memasukkan ide-ide yang berkembang di universitas dan
pesantren ke dalam suasana masjid. Begitupun saat berada di universitas,
memasukkan gagasan masjid dan pesantren ke dalamnnya. Dan juga tatkala berada
pesantren tentunya. Dengan begitu, trickle down effect kader ulama Gontori secara bertahap dapat
terwujudkan.
Sebagai akhiran, Mahbub ul Haq (1995) menyinggung Islamic Scientific
Foundation dalam bukunya Reflections on Human Development. Hal tersebut fokus
pada lima aktivitas, yaitu: (i) high-level training, (ii) enhancing research
quality, (iii) contact with the world scientific community, (iv) sponsoring
applied research, dan (v) popularizing science.
Kelima hal tersebut tersentuh oleh PKU Gontor. Kelimanya juga merupakan
strategi untuk mengembangkan ilmu dan budaya ilmu. Sehingga jika titik sentral
ilmu ada di Masjid, Universitas dan Pesantren, kemudian peradaban Islam adalah
peradaban ilmu, maka ulama adalah penggerak peradabannya. Maka eksistensi PKU
Gontor sebagai rahim untuk melahirkan penggerak-penggeraknya.
Wallahu’alam bishshowab…
Yogyakarta, 30 Januari 2018
Komentar
Posting Komentar