Hadith Nabi dan Gerakan Inkar Sunnah

                                           Hadith Nabi dan Gerakan Inkar Sunnah
                                                       (Muhammad Rusnadi, S.Ag)
                                     Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Agama Islam
                                           Universitas Muhammadiyah Ponorogo

A.   
Pendahuluan
Sebagaimana yang telah didefinisikan bahwa hadith Nabi adalah semua perkataan, perbuataan, ketetapan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW.[1] Dan berdasarkan kesepakatan umat Islam, bahwa hadith Nabi adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Kitabulah yaitu al Qur’an al Karim.[2]
                        Al Qur’an dan al- Hadith merupakan dua sumber pokok umat Islam, yang mana umat Islam tidak akan bisa memahami Islam dengan baik dan benar, kecuali dengan mempelajari dan mendalami dua pusaka yang diwariskan oleh Rasulullah SAW ini. Begitupun dengan seorang mujtahid, wajib kepadanya untuk menguasai dua komponen ini yaitu harus kompeten dalam ilmu al-Qur’an dan ilmu al Hadith. Tanpa menguasai dua ilmu ini, maka tidaklah seorang tersebut bisa dan sah menjadi seorang mujtahid.
Karena keberadaannya sebagai sumber ajaran Islam. Alquran dan Sunnah telah menjadi fokus perhatian umat Islam sejak zaman Nabi sendiri sampai sekarang. Namun berbeda dengan Alquran, perkembangan Sunnah tidak semulus Alquran. Berbagai keraguan bahkan penolakan muncul seiring pertumbuhan studi terhadap Sunnah itu sendiri. Mereka bersandar kepada al-Qur’an akan tetapi mereka tidak menjadikan al-Hadith sebagaimana pedoman/rujukan setelah al-Qur’an, bahkan menyerukan agar tidak menjadikan al- Sunnah sebagai pedoman hukum-hukum Islam. Padahal dalam al-Qur’an sangat jelas dikatakan bahwa al-Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang tidak dapat dipisahkan.

B.     Perintah Allah untuk patuh kepada Rasul (Hadith Nabi) dalam al-Qur’an
Hidayah Allah haturkan melalui wahyu yang disampaikan kepada para nabi dan rasul yang diutusnya. Mereka diutus dan dipilih Allah untuk menyampaikan firman-firman yang berisi aturan-aturan dan hukm-hukum-Nya. Diutusnya para nabi dan rasul tersebut adalah sebagai bentuk keadilan Allah dan sebagai hujjah-Nya kepada hamba-hamba-Nya, disaat Dia melakukan perhitungan kelak terhadap amal-amal yang telah meeka perbuat di dunia.[3]
Allah mengutus para nabi dan rasul tersebut sebagai penjelas dan penerang kepada hamba-hamba-Nya. Untuk itu Allah memberi wahyu lain kepada mereka berupa hadith atau sunnah. Allah mengutus para nabi dan rasul teresebut dengan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, karena manusia dengan segenap kelengkapan penciftaannya; akal yang cerdas, pemahaman yang dalam, ddan analisa yang tajam, tanpa bimbingan Al-Qur’an dan hadith, tetap saja tidak mampu mencerna dan mengetahui dengan pasti dan benar apa yang dikehendaki Allah dari hamba-hamba-Nya. Dan karena tingkat penelaran mereka berbeda, maka selamanya mereka akan berselisih faham.[4] Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”: Q.S. An-nisa;82
Maka dari itulah, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan umat dalam perselisihan dan perbedaan, Allah mengutus para nabi dan rasulnya untuk menyatukan dan menyamakan persepsi. Dan nabi kita Muhammad SAW, karena beliau adalah khotamul anbiya’ (nabi penutup), maka beliau diutus seluruh manusia. Beliau datang menjelaskan secara rinci dan gamblang semua risalah Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dan beliau belum diwafatkan kecuali setelah agama ini telah disampaikan dengan sempurna.[5] Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Q.S. An-Nisa; 59
Kedudukan Sunnah dalam Islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah konsensus dasar hulum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Dan dari segi derajatpun, sunnah menjadi dasar hukum Islam (Tasyri’iyyah) kedua setelah al-Qur’an. Dengan alasan Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an.[6] Teks al-Qur’an sebagai pokok asal, tentunya penjelas menjadi pihak kedua setelah pihak yang dijelaskan. Sedang sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan demikian segala uraian dalam Sunnah berasal dari al-Qur’an. Al-Qur’an mengandung segala permasalahan yang paripurna, baik menyangkut duniawi maupun ukhrawi[7]. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-An’am. 38:
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَٰٓئِرٖ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ يُحۡشَرُونَ ٣٨
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan (tinggalkan) sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”
Keterangan al-Qur’an sama sekali tidak meninggalkan sesuatu, tetapi penjelasan secara global  maka perlu dirincikan dalam Sunnah.[8]
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh ulama fikih, sunnah adalah sumber hukum Islam yang tidak kalah penting dengan al-Qur’an. Sebab tanpa sunnah, tidak bisad dibayangkan pengamalan Islam bisa seperti sekarang. Dan Allah sudah menegaskan dalam beberapa firman-Nya yang menjadi hujjah sunnah dijadikan sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1.      مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمۡ عَلَيۡهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطۡلِعَكُمۡ عَلَى ٱلۡغَيۡبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجۡتَبِي مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُۖ فَ‍َٔامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦۚ وَإِن تُؤۡمِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَلَكُمۡ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٧٩ (Q.S. Ali Imran; 179)
2.      يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا ١٣٦ (Q.S. An-Nisa: 36)
3.      وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ جَآءُوكَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُواْ ٱللَّهَ تَوَّابٗا رَّحِيمٗا ٦٤(Q.S. An-Nisa: 64)  
4.      مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧ (Q.S. Al-Hasyr: 7)
Dari beberapa ayat tersebut dapat kita simpulkan bahawasanya perintah untuk taat kepada Allah dan mengikuti Rasul SAW, itu sangat penting sebagai wujud dari iman kita kepada Allah SWT, ini menunjukkan bahwasanya kedudukan Sunnah mempunyai posisi yang penting sebagai dasar hukum atau hujjah dalam Islam.[9]
C.    Pengertian dari Inkar Sunnah
Secara terminologi Inkar Sunnah bermakna mengingkari atau menolak eksistensi Sunnah. Dan inkar atau pengingkar (munkir al-Sunnah) yaitu orang tidak mengakui al-sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam. Dan menganggap telah cukup dengan al-Qur’an saja.[10] Sedangkan Abdul Majid Khon mendefinisikan ingkar sunnah sebagai suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahihah baik sunnah praktis maupun yang secara formal dikodifikasikan para ulama, tanpa ada alas an yang dapat diterima oleh para ulama.[11]
Ada yang menamakan kelompok ini dengan jama’ah al-Quraniyyun yaitu sekelompok orang yang berfaham bahwa yang menjadi sumber rujukan beragama hanyalah al-Qur’an, dan tidak diiringi dengan al-Sunnah. Jadi mereka menolah kehujahan Sunnah secara mutlak. Dan nama al-Qur’aniyyun ini tampaknya mereka sendiri yang yang memberikan. Dan secara umum, kaum muslim menyebut mereka sebagai kelompok inkar sunnah.[12]
Fenomena ini sudah dibahas oleh Imam al-Syafi’I, bahwasanya beliau membagi para pengingkar Sunnah ini menjadi tiga golongan:[13]
1.      Golongan yang menolak seluruh Sunnah
2.      Golongan yang menolak sunah kecuali sunah tersebut memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an (al-Sunnah al-Mutakkidah)
3.      Golongan yang menolak Sunnah yang berstatus ahad (mereka hanya menerima sunnah yang berstatus mutawatir).
D.    Sejarah Munculnya Inkar Sunnah
Untuk mempermudah kajian, Inkar Sunnah terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Inkar Sunnah pada periode klasik
Sebenarnya bibit penolakan terhadap Sunnah ini sudah muncul pada zaman Rasulullah SAW. Seperti didalam kisah Dzu al-Khuwaishirah  yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan perawi hadith lainnya. Hadith tersebutkan diriwayatkan oleh abu sa’id al-khudhri z ia berkata: ketika Nabi SAW sedang membagikan harta ghanimah (rampasan perang), Abdullah ibn Dzi- al-Khuwaishirah at-Tamimi dating seraya berkata: “Berbuat adil-lah wahai Rasulullah!”. Rasulullah lalu mengatakan:”Celakalah engkau. Lalu siapa yang akan berbuat adil jika aku tidak adil!“. Umar ibn al-Khattab berkata dengan sangat marah: “ Biarkan aku memenggal lehernya”. Rasulullah SAW berkata: “ Biarkan ia. Sesungguhnya ia memiliki kawan-kawan dimana salh seorang kalian merasa remeh shalatnya bala disbanding shalat orang ini, juga puasanya disbanding puasa orang ini. Akan tetapi mereka meluncur dari agama sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”[14]
Namun kemuculan penolak as-Sunnah di masa nabi SAW tidaklah membahayakan umat Islam, karena keberadaan Rasulullah SAW ditengah-tengah mereka sebagai pemutus dan pembimbing langsung dalam menghadapi setiap permasalahan yang saat itu, dan kasusnyapun tidak banyak.[15]
Begitupun dengan masa sahabat juga pernah terjadi penolakan terhadap Sunnah. Seorang ulama dari kalangan Tabi’ini, Imam al-Hasan al-Bashri menceritakan: Ketika sahabat Nabi SAW ‘Imran Ibn Husain sedang mengajarkan hadith, tiba-tiba ada seorang memotong pembicaraan beliau. “Wahai Abu Nujaid”, demikian orang itu memangggil Imran-“Berilah kami perlajaran al-Qur’an saja” ‘Imran Ibn Husain lalu meminta agar orang tersebut maju ke depan. Setelah itu beliau bertanya, “Tahukah anda, seandainya anda dan kawan-kawan anda hanya memakai al-Qur’an saja, apakah anda dapat menemukan dalam al-Qur’an  bahwa shalat dhuhur itu empat rakaat, ashar empat rakaat, dan shalat maghrib tiga rakaat? Apabila anda thawaf (mengelilingi ka’bah) dan sa’i antara shafar dan marwah itu tujuh kali?”. Mendengar jawaban itu orang tadi berkata, “anda telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan Allah menyadarkan saya.” Akhirnya, kata al-Hasan al-Bashri, sebelum wafat orang itu menjadi ahli fiqih.[16]
Kisah diatas menunjukkan bahwa pada masa yang sangat dini dalam perkembangan Islam sudah muncul gejala-gejala ketidakpedulian terhadap hadith, dan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya pahak inkarus Sunnah, namun sikap tersebut tampak masih merupakan sikap individual, bukan merupakan sikap kelompok atau madzhab, meskipun jumlah pengingkar sunnah di kemudian hari semakin banyak seiring dengan banyaknya muncul berbagai firqah dhallah (kelompok sesat).[17]
2.      Inkar Sunnah pada periode modern
Pada mulanya, inkar sunnah klasik muncul di Bashrah, Irak, akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan sunnah. Sedangkan inkar sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam. Adapun perbedaanya adalah, apabila di masa klasik masih banyak bersisat perseorangan, sedangkan Inkar Sunnah modern banyak yang bersifat kelompok yang terorganisasi dan tokoh-tokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan mujaddid.[18]
Dan para pengingkar sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka menyadari kekeliruanya, para pengingkar sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi sunnah dalam Islam. Bahkan diantara mereka, ada yang tetap menyebarkan pemikirannya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut. [19]
Muhammad Azami menuturkan bahwa inkar sunnah lahir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323) dengan kata lain, Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan inkar sunnah pada masa modern. Hal ini bersandar kepada pendapat Abu Rayyah bahwa Muhammad Abduh pernah berkata” Umat Islam pada masa sekarang tidak mempunyai imam (pimpinan) selain al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal sebelum terjadinya fitnah (perpecahan) ‘Beliau juga berkata, : Umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan pada umat Islam. Semua hal selain al-Qur’an akan menjadi kendala yang menghalangi antara al-Qur’an serta ilmu dan amal.[20].
Pemikiran Muhammad Abduh  dalam menolak sunnah ini diikuti oleh Taufiq Sidqi, yang menulis dua buah artikel dalam majala al-Manar nomor 7 dan 12 tahun IX dengan judul “Islam al-Qur’an itu sendiri” sambil mengutip ayat-ayat al Qur’an, Taufiq Shidqi mengatakan bahwa Islam tidak memerlukan sunnah.[21] Dengan berargumentasi dalam ayat al-Qur’an:
ü   ….مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡء…. ٣٨
Tiadalah Kami alpakan (tinggalkan) sesuatupun dalam Al-Kitab
ü   وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩
“Dan kami turunkan al-Qur’an kepadamu sebagai penjelas segala hal”
            Kedua ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa al-Qur’an mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan agama, mencakup hukum-hukumnya, dunia akhirat. Dengan dua ayat inilah Allah menerangkan dan memperinci segala sesuatu sehingga tidak perlu keterangan lain seperti sunnah. Kalaupun al Qur’an dipandang masih belum lengkap, apa artinya ayat yang mengatakan al Qur’an itu menjelaskan segala sesuatu. Dan jika demikian berarti Allah menyalahi firmanNya sendiri.
            Pendapat tersebut langsung ditepis oleh al-Imam As Syafi’I bahwa istilah tibyan yang mengandung berbagai makna, mencakup berbagai pengertian pokok sebagai sumber yang dapat dijabarkan dalam berbagai cabang hukum (furu’). Yang diterangkan dalam al Qur’an oleh Allah kepada makhluk-makhlukNya mengandung berbagai segi:[22]
1)      Ketentuan Fardlu yang dicantumkan sebagai nash global
2)      Penegasan dengan firmanNya dalam al Qur’an serta proses selanjutnya dijelaskan melalui lisan Rasulullah.
3)      Ketentuan yang tidak ada  nashnya dalam al-Qur’an.
Salah satu tokoh kontemporer yang yang memiliki peran besar dalam merekontruksi sunnah adalah Muhammad Syahrur. Ia menawarkan pembacaan kontemporer terhadap sumber hukum Islam termasuk sunnah.[23] Dalam pandangannya, untuk memahami teks keagamaan tidak perlu selamanya mengedepankan penafsiran ulama tradisional. Sebab ditafsirkan sebagaimana zamannya. Ia kemudian dengan berani menolak kewahyuan sunnah dan kapasitasnya sebagai sumber hukum Islam.[24]
Tidak cukup sampai disini, bahwa munculnya gerakan inkar sunnah ini juga diawali dari kaum orientalis barat yang tertarik untuk mengkaji tentang ketimuran dan Islam. Namun tidak semua orientalis ini murni untuk belajar, bahakan diantara mereka ada yang sengaja menyisipkan ide pemikirannya untuk merendahkan Islam, mencari kekurangan al-Qur’an dan sunnah yang merupakan pedoman umat Islam.[25]
E.     Pokok-Pokok Ajaran dan Argumen Inkar Sunnah
Di antara argumen yang dikemukan kelompok Inkar Sunnah secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu, bukan yang diterangkan. Jadi al-Qur’an tidak memerlukan keterangan dari sunnah.
2)      Al-Qur’an bersifat qat’iy (pasti, absolut kebenarannya), sedangkan sunnah bersifat dzanniy (bersifat relative kebenarannya) maka jika terjadi kontradiksi antara keduanya sunah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.
3)      Jika di antara fungsi sunnah sebagai penguat (muakkidah) terhadap hukum di dalam al-Qur’an, maka yang diikuti al-Qur’an, bukan sunnah.
4)      Jika sunnah merinci (tafshil) keglobalan ayat al-Qur’an, maka tidak mungkin terjadi al-Qur’an yang bersifat qat’iy diterangkan dengan sunnah yang bersifat dzanniy.
5)      Sunnah mutawatirah tidak dapat memberi kepastian (qat’iy) karena prosesnya melalui ahad. Boleh jadi didalamnya terdapt kebohongan.
Semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis dan dipatahkan oleh Imam al-Syafi’I dengan jawaban yang argumentatife, ilmiah, dan rasional, sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi sebagai hujjah. Karenanya Iman al-Syafi’I diberi julukan sebagai nashir al-sunnah (pembela sunnah).[26]
F.     Kesimpulan
Secara Terminologi paham inkar sunnah adalah orang yang mengingkari al-Qur’an, mereka menganggap bahwasanya umat Islam tidak perlu menjadikan sunnah sebagai sumber hukum Islam. Karena sudah cukuplah al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Munculnya gerakan inkar sunnah pada masa klasik berawal dari perorangan yang hidup pada zaman Rasululullah, itupun didasari oleh ketidak tahuan mereka dan dapat dicegah langsung oleh Rasulullah dan akhirnya kembali kepada jalan yang benar. Lain halnya dengan gerakan inkar sunnah yang muncul pada masa modern, mereka dengan bebas menafsirkan bahwa sunnah tidak bisa menjadi sumber hukum Islam atas analisa mereka terhadap beberapa ayat al-Qur’an.
Dan paham inkar sunna ini memang sengaja dimunculkan dan dimanfaatkan oleh musuh-musuh umat Islam untuk menghabisi umat Islam dengan cara menghancurkan sendi-sendi utamanya, bagaimana tidak, karena yang digerogoti para musuh umat Islam ini adalah Sunnah Nabinya, bahkan kelompok inkar sunnah ada yang menamakan dirinya sebagai al-Qur’aniyyun yaitu orang yang bersandar hanya kepada al Qur’an.
Kalaulah mereka tidak mau mentaati RasulNya, seharusnya merekapun tidak perlu mempercayai al-Qur’an sekalian. Sebab al Qur’an diturun kepada Rasululullah sebelum disampaikan kepada ummatnya. Mentaati rasulNya yang juga berarti juga mengikuti sunnah-sunnahnya adalah sebuah keniscayaan dan bgian yang tidak terpisahkan dari ketaatan kepada Allah SWT.
G.    Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim
Al-‘aql , Nashir Ibn ‘Abdil Karim. Dirasat fi al-Hhwa wa al-firaq wa al-Bida’ wal al-Mauqif al-Slaf Minha, (Riyadh: Dar Syibilia, 1424 H/2003).

As Siba’I, Mustafa, Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum, (Bandung: Cv. Diponegoro, 1979)

Al-Siba’i , Mustafa,  Al-Sunnh wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Dar al-Salam, cet. 4, 2008)
Aulassyahie, Qaem,  Studi Kritis Konsep Sunnah Muhammad Syahrur, KALIMAH, Vol. 13, No.1, Maret. 2013.
Edi , Relit Nur, As-Sunnah (Suatu Kajian Inkar Sunnah), ASAS, Vol.6 No.2, Juli 2014, 133
Hassan,  Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadist, (Bandung: Diponegoro Press, 2007)
Kurdi, dkk, Hermenutika al-Qur’an dan Hadist, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010)
Ma’ali , Dasman Y ahya,  As-Sunnah An Nabawiyah Antara Pendukung dan Pengingkarnya, Jurnal Ushuluddin, Vol XXII No.2. Juli 2014
Maulida , Ali, Inkarus Sunnah Dari Kalangan Muslim Dalam Lintasan Sejarah, Al-Tadabbur, Jurnal Qur’an dan Tafsir, Vol. 3. No.5
Nasution, Harun, Islam Regional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan,1996)
Syahrur, Muhammad, Al-KItab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’asirah, (Damaskus; Al- Ahali, 1990)
Zarkasih, Inkar Sunnah: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Inkar Sunnah di Dunia Islam, Toleransi, Vol. 4, No. 1, 2012,
Zarkasih, Dasar-Dasar Studi Hadist, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015),








[1] A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadist, (Bandung: Diponegoro Press, 2007),  hal. 17.
[2] Qaem Aulassyahied,  Studi Kritis Konsep Sunnah Muhammad Syahrur, KALIMAH, Vol. 13, No.1, Maret. 2013, hal. 126.
[3] Dasman Y ahya Ma’ali,  As-Sunnah An Nabawiyah Antara Pendukung dan Pengingkarnya, Jurnal Ushuluddin, Vol XXII No.2. Juli 2014, 182-183
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Qaem Aulassyahied, 2015, Studi Kritis Konsep Sunnah…, hal.125
[7] Relit Nur Edi, As-Sunnah (Suatu Kajian Inkar Sunnah), ASAS, Vol.6 No.2, Juli 2014, 133
[8] Ibid
[9] Relit Nur Edi, As-Sunnah (Suatu Kajian Inkar Sunnah), 134
[10] Zarkasih, Inkar Sunnah: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Inkar Sunnah di Dunia Islam, Toleransi, Vol. 4, No. 1, 2012, hal. 82
[11] Zarkasih, Dasar-Dasar Studi Hadist, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015),hal. 119
[12] Zarkasih, Inkar Sunnah: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Inkar Sunnah di Dunia Islam, hal. 82
[13] Ibid
[14] Nashir Ibn ‘Abdil Karim al-‘aql. Dirasat fi al-Hhwa wa al-firaq wa al-Bida’ wal al-Mauqif al-Slaf Minha, (Riyadh: Dar Syibilia, 1424 H/2003), HAL. 217-218.
[15]  Ali Maulida, Inkarus Sunnah Dari Kalangan Muslim Dalam Lintasan Sejarah, Al-Tadabbur, Jurnal Qur’an dan Tafsir, Vol. 3. No.5, hal. 137
[16] Ibid, hal. 138
[17] Ibid, hal. 139
[18] Zarkasih, Dasar- Dasar Studi Hadist…hal.128-129
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Mustafa as Siba’I, Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum, (Bandung: Cv. Diponegoro, 19790, hal.223
[22]  Mustafa as Siba’I, Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum,…hal, 228
[23] Muhammad Syahrur, Al-KItab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’asirah, (Damaskus; Al- Ahali, 1990), hal. 89
[24] Kurdi, dkk, Hermenutika al-Qur’an dan Hadist, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010, hal. 296
[25] Harun Nasution, Islam Regional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan,1996)hal. 181.
[26] Mustafa al-Siba’iy Al-Sunnh wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Dar al-Salam, cet. 4, 2008) hal. 124

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer